Minggu, 02 Mei 2021

Kejahatan dan Korupsi Pada Korporasi

 

Nama               : Amalia Dwi Septiana

NIM                : 01219075

Kelas               : Manajemen A

Semester          : 4

Mata Kuliah    : Etika Bisnis

Dosen              : Hj.I.G.A.Aju Nitya Dharmani, SST,SE,MM


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Korporasi sebagai entitas usaha yang hadir dalam kehidupan masyarakat memberikan sumbangan signifikan dalam pembangunan ekonomi, hampir di sebagian negara maju terdapat suatu korporasi besar yang menopang pembangunan nasional negara tersebut, melalui kegiatan kegiatan perekonomian yang menyerap sektor ketenagakerjaan dan membantu pemerintah mensejahterakan perekonomian rakyatnya. Namun tidak banyak yang memahi bahwa sesungguhnya korporasi tidak memliki wujud nyata seperti manusia karena awalnya korporasi adalah nomenklatur yang dipopulerkan oleh para pebisnis dan ekonom untuk mengemas entitas bisnis dalam tranksaksi perdagangan. Kendati korporasi tidak berwujud namun adalah fakta umum sebagian besar masyarakat menerima dan memahami bahwa korporasi bisa melakukan kegiatan yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat.

Pada kenyataannya kegiatan Korporasi membutuhkan manusia untuk merealisasikan rencana dan atau strategi bisnisnya, apapun korporasinya baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum tentunya difasilitasi oleh pengurus maupun karyawan dan atau kuasanya, karena korporasi sebagai suatu badan secara nyata tidak mempunyai wujud yang jelas sebagaimana manusia. Dan sebab itu korporasi selalu membutuhkan manusia untuk mewujudkan kegiatan dan kepentingan usahanya. Permasalahan kemudian timbul ketika pada kenyataannya disamping korporasi korporasi yang bermanfaat bagi masyarakat, tidak sedikit dari korporasi melakukan kejahatan.


 

BAB 2

PEMBAHASAN

 

2.1 Definisi Kejahatan Korporasi

Rumusan secara tegas mengenai Kejahatan Korporasi tidak diatur secara yuridis formil, karenanya sebagai upaya memahami pengertian utuh mengenai kejahatan korporasi terlebih dahulu dijelaskan secara parsial pengertian dari kejahatan dan korporasi itu sendiri dengan mengacu pada beberapa sumber hukum sekunder maupun primer antara lain sebagai berikut:

Menurut Kartono, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief dalam buku Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT Alumni, 1998) pada halaman 4, menjelaskan Kejahatan secara sosiologis yakni:

Semua ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercantum dalam undang-undang pidana).

Selain itu, definisi kejahatan juga dijelaskan oleh Larry J. Siegel dan John L. Worral dalam bukunya Essentials of Criminal Justice, 11th Edition, (USA: Cengage Learning, 2017), yang pada halaman 31 mendefinisikan Kejahatan sebagai berikut:

Crime is a violation of socieal rules of behavior as interpreted and expressed by criminal legal code created by people holding social and political power. Individuals who violate these are subject to sanctions by state authority, social stigma and loss of status. (Kejahatan adalah sebuah pelanggaran aturan sosial dalam berprilaku sebagaimana yang ditafsirkan dan di ekspresikan dalam hukum pidana yang dibuat oleh orang-orang yang memegang kekuasaan politik. Individu yang melanggar aturan ini dikenakan sanksi oleh otoritas negara, stigma sosial dan kehilangan status)

Berdasarkan kedua penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kejahatan dalam perspektif pidana adalah semua tindakan, perbuatan dan tingkah laku yang secara sosial, ekonomis dan politis melanggar ketentuan hukum pidana, yang dapat dikenakan sanksi berupa pemidanaan oleh negara dan sanksi sosial dalam masyarakat.

Selanjutnya merujuk pada pengertian Korporasi berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Tipikor maupun Pasal 1 Ayat (1) Peraturan MA RI 13/2016 dirumuskan dengan pengertian sama sesuai kutipan berikut: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Terkait hal tersebut oleh karena belum ada pengertian yang jelas secara yuridis formil yang mendefinisikan mengenai kejahatan korporasi, maka untuk memahami hal tersebut terlebih dahulu akan diuraikan pendapat-pendapat ahli mengenai kejahatan korporasi termasuk dengan mengaitkan dengan pengertian tindak pidana korporasi sebagaimana diatur dalam regulasi.

Menurut Prof. Bismar Nasution dalam artikel Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya sebagaimana dipublikasikan dalam website dengan alamat https://bismarnasution.com/kejahatan-korporasi-dan-pertanggungjawabannya/, yang di akses pada tangal 4 Agutus 2018, pengertian Kejahatan Korporasi pada pokoknya merujuk pendapat Sally Simson dalam Corporate Crime, Law and Social Control (New York: Cambridge University Press, 2002) yang menjelaskan:

Kejahatan Korporasi merupakan bagian dari white collar crime. Pengertian kejahatan Korporasi yang paling mudah untuk dimengerti adalah pengertian yang ditawarkkan oleh Braithwaite. Kejahatan Korporasi menurut pengertian yang diberikan oleh Braithwaite adalah perbuatan dari suatu korporasi, atau pegawainya yang bertindak untuk korporasi, dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.

Selain pendapat tersebut, menurut Dr. Hasbullah F. Sjawie S.H., LL.M., M.M dalam bukunya Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2017) pada halaman 273 menjelaskan secara tidak langsung pengertian dan lingkup kejahatan korporasi dengan merumuskan pengertian tindak pidana korporasi yaitu:

“….. perbuatan yang dilakukan oleh direksi dan atau pegawai dari suatu korporasi pada setiap tingkatannya yang menjalankan tugas dan fungsi serta bisa dianggap bertindak mewakili korporasi yang dapat mengakibatkan tanggungjawab pidana, baik kepada korporasinya maupun bersama dengan pegawainya secara pribadi …..”

Terkait dengan beberapa pendapat di atas, untuk melengkapi pemahaman mengenai kejahatan korporasi secara menyeluruh, maka perlu memperhatikan pengertian Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan MA RI 13/2016 sesuai kutipan berikut:

Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.

Berdasarkan rujukan pendapat ahli serta dengan mengacu pada Pasal 3 Peraturan MA RI 13/2016 maka dapat disimpulkan bahwa Kejahatan Korporasi adalah perbuatan korporasi yang direpresentasikan oleh orang yang mewakili korporasi sepanjang dilakukan bertindak atas nama serta untuk kepentingan korporasi, dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dimintakan tanggungjawab secara pidana.

 

2.2 Definisi Korupsi

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

-          perbuatan melawan hukum,

-          penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

-          memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

-          merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, tetapi bukan semuanya, adalah

-          memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

-          penggelapan dalam jabatan,

-          pemerasan dalam jabatan,

-          ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan

-          menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

-          Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.

-          Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

-          Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.

-          Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

-          Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".

-          Lemahnya ketertiban hukum.

-          Lemahnya profesi hukum.

-          Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

-          Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

-           

2.3 Korupsi dari Pandangan Etika

Dapat dipahami dalam kehidupan pemerintahan sebagai suatu keadaan, di mana jika etika dipegang teguh sebagai landasan tingkah laku dalam pemerintahan, maka penyimpangan seperti korupsi tidak akan terjadi.

Untuk menilai etis atau tidaknya suatu aktivitas, diperlukan peninjauan terhadap tiga konsep dasar etika. Kita ambil contoh jika korupsi terjadi pada pejabat publik dengan mengorupsi uang negara. Ditinjau dari konsep dasar etika :

1           Teori Deontologi

a.       Teori Hak

Perilaku korupsi uang negara menunjukkan bahwa hak masyarakat yang seharusnya mendapatkan kesempatan menikmati kesejahteraan dari uang negara baik secara langsung maupun tidak langsung, telah diambil oleh para pelaku korupsi.

b.      Teori Keadilan

Perilaku korupsi uang negara menunjukkan bahwa ada ketidak-adilan diantara para pejabat publik. Mereka sama-sama bekerja mengabdi pada negara, namun mendapatkan "pendapatan" yang berbeda, dan bahkan bisa mendapat "privilege" yang berbeda jika koruptor ini tetap "dirawat" oleh negara.

2. Teori Teleologi

Dalam dunia etika, teori teleologi dari Christian Wolff seorang filsuf Jerman abad ke-18 diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan dilakukan. Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Betapa pun salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik.

Perbincangan "baik" dan "jahat" harus diimbangi dengan "benar" dan "salah". Ajaran teleologi dapat menciptakan hedonisme, ketika "yang baik" itu dipersempit menjadi "yang baik" bagi diri sendiri. Misalnya :mencuri, menurut etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Jika tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Contoh seorang anak mencuri untuk membiayai berobat ibunya yang sedang sakit, tindakan ini baik untuk moral kemanusian tetapi dari aspek hukum jelas tindakan ini melanggar hukum. Sehingga etika teologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibatnya suatu tindakan bisa sangat bergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam situasi sebagaimana dimaksudkan.

a.       Egoisme

Menurut sudut pandang teori Egoisme Psikologis, semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan self-center/selfish dan merugikan kepentingan orang lain. Sedangkan teori Egoisme Etis adalah tindakan mementingkan diri namun tidak merugikan kepentingan orang lain.

Perilaku korupsi merupakan tindakan yang mementingkan diri dan merugikan kepentingan orang lain sehingga perilaku tersebut tidak etis sesuai konsep Egoisme Psikologis.

b.      Utilitarian

Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Korupsi uang negara berarti merupakan tindakan tidak etis menurut Konsep Utilitarian, karena hanya bermanfaat bagi sebagian pihak.


2.4 Jenis Kejahatan Korporasi

1. Crime For Corporation

Dalam literatur sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk white collar crimes. Dalam arti yang luas, kejahatan korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi. Bentuk-bentuk dan korban kejahatan korporasi itu sangat beraneka ragam dan pada umumnya bernilai ekonomis. Bentuk kejahatan korporasi secara umum yaitu pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan dibidang perpajakan dengan skala dan ruang lingkup korban yang sangat luas yaitu konsumen, masyarakat dan negara. Gagasan tentang white collar crimes pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog bernama Edwin H. Suhterland dalam pidatonya di depan American Sociological Society pada tahun 1939, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam buku yang berjudul White Collar crimes. Sutherland merumuskan white collar crimes sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crimes committed by person of respectability and high social status in the course of their occupation).10 Tujuan penggunaan istilah ini adalah untuk membedakan pelaku kejahatan berdasarkan status sosial karena memiliki dua elemen yaitu status pelaku tindak pidana (status of offender) dan karakter serta jabatan dari pelaku (the occupation character of offences).

2. Crime against Corporation

Kejahatan yang dilakukan oleh orang atau individu berhubungan dengan suatu jabatan yang masih dalam ruang lingkup itu. Kejahatan ini tidak hanya dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan akan tetapi juga oleh siapapun yang berkaitan dalam ruang lingkup jabatan itu. Hal ini dilakukan untuk kepentingan individu atau pribadi bukan untuk kepentingan badan hukum, karena itu kejahatan ini mempunyai kesamaan dengan tindak pidana korupsi. Kejahatan jabatan ini antara lain, pelanggaran hukum oleh pengusaha, politisi, ketua serikat pekerja, pengacara, dokter ahli farmasi, karyawan yang menggelapkan uang perusahaan atau lembaga pemerintah dimana mereka bertugas.

3. Criminal Organization

Pengertian organisasi dalam lingkup kejahatan yang diorganisir ini adalah sekelompok orang yang sengaja dibentuk untuk melakukan kejahatan. Organisasi ini merupakan suatu kesatuan yang lebih besar dalam lingkungan penjahat. Dengan demikian ciri dari organisasi ini adalah sifat illegal dari sebuah organisasi tersebut. Dengan organisasi kriminal itu maka akan terbentuk sebuah dialek atau sandi yang dimiliki oleh para anggotanya, dan hal ini dibentuk sebagai suatu identitas geng, gerombolan, sindikat, kartel. Nilai perilaku kriminal inilah yang akan membentuk budaya kriminal yang sifatnya khusus dan dibentuk oleh anggotanya sendiri berdasarkan kesepakatan.

 

2.5 Dampak Kejahatan Korporasi

a.       Dampak bagi masyarakat (society)

Korporasi juga memiliki dampak negatif yang sangat luas bagi masyarakat yang mana pihak korban harus dilindungi melalui penegakan hukum secara efektif. Dampak kejahatan korporasi dapat dibedakan atas dampak langsung (direct victimization) dan dampak tidak langsung (indirect victimization). Aktifitas korporasi yang menimbulkan akibat yang membahayakan kehidupan masyarakat dan merugikan aspek kehidupan akan timbul kejahatan korporasi (corporate crimes). Viktimisasi yang dapat ditimbulkan baik menimpa perorangan maupun kolektif, bahkan masyarakat luas, antara lain meliputi kerugian di bidang materi, kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa, atau kerugian di bidang sosial, hilangnya pekerjaan.

b.      Dampak Bagi Lingkungan Hidup

Dampak kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup secara umum tidak hanya menguras sumber daya alam, tetapi juga modal manusia, modal sosial, bahkan modal kelembagaan yang berkelanjutan. Jadi kejahatan korporasi ini tidak akan selesai hanya dengan memberi penyantunan korban, akan tetapi dampaknya terhadap kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi yang menguras sumberdaya alam tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa kembali seperti semula, bahkan ada juga yang tidak bisa kembali lagi karena sifatnya. Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini karena adanya paradigma lingkungan yang salah, karena paradigma ekologi kita ini tidak ekosentris. Manusia hanya memposisikan diri sebagai outsider dari lingkunganya. Maka dari itu pandangan kita harus dirubah dari antroposentris menjadi ekosentris oleh karena itu kita harus menjadi kolifah alamiah. Suparto widjoyo mengatakan “orang merusak lingkungan, mencemarkan lingkungan itu tidak hanya dia melanggar hukum tapi dia melawan Tuhan”. Jadi tidak ada bahan pencemar yang menakutkan kecuali manusia itu sendiri. Tidak ada destroyer yang paling hebat yang menghancurkan lingkungan kecuali kerakusan manusia itu”.

c.       Dampak bagi Negara

Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum (the Prevention of Crime and Treatment of Offender) dalam tahun 1975 kemudian dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, menunjukkan “bahwa terdapat kejahatan-kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh korporasi yang digerakan oleh pengusaha terhormat yang membawa dampak sangat negatif pada perekonomian negara yang bersangkutan”. 32 Berdasarkan hal tersebut diatas kongres ke-5 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum yang diselenggarakan oleh Badan PBB pada bulan September 1975 di Jenewa memberikan pengertian dengan memperluas terhadap tindak penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum (illegal abuse of economic power), seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, perburuhan, pencemaran lingkungan, penipuan terhadap konsumen, penyelewengan dibidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan trans nasional.

d.      Pengaruh Korupsi terhadap Etika Bisinis :

1.      Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi

2.      Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.

3.      Korupsi menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

4.      Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.

 

2.6 Contoh Kejahatan Korporasi

Kepolisian RI telah menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya petinggi perusahaan, dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang kemudian menimbulkan bencana kabut asap dalam sebulan terakhir (Kompas, 17/9). Mereka dijerat UU Perkebunan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Kehutanan dengan ancaman kurungan maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.

Jumlah tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan diprediksi bertambah karena polisi masih memeriksa puluhan perusahaan yang diduga melakukan praktik pembakaran hutan dan lahan. Jika terbukti, izin konsesi perusahaan terancam dicabut dan dibekukan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan, indikasi areal kebakaran hutan dan lahan-hingga 9 September 2015-di Kalimantan dan Sumatera seluas 190.993 hektar. Luasan tersebut terdiri dari 103.953 hektar di lahan pemanfaatan, 29.437 hektar di lahan perkebunan dari pelepasan, dan 58.603 hektar di lahan bidang tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi, kerugian ekonomi akibat bencana kabut asap yang terjadi karena kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi di Indonesia pada 2015 bisa melebihi angka Rp 20 triliun. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, yang kemudian menimbulkan bencana kabut asap, bukan yang pertama kali. Dalam 20 tahun terakhir, bencana serupa hampir setiap tahun terjadi. Warga negara Malaysia dan Singapura pun menyindir Indonesia dengan kabut asapnya melalui media sosial dengan tagar #terimakasihIndonesia. Malaysia dan Singapura adalah dua negara tetangga yang rutin mendapat kiriman kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan merupakan faktor yang disengaja. Citra satelit yang diambil NASA membuktikan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera sekarang merupakan kesengajaan karena areal hutan yang dilalap api memiliki pola. Motifnya jelas! Membakar hutan dan lahan dinilai sebagai cara paling mudah, murah dan cepat untuk membersihkan lahan (land clearing) meski dampak kerusakannya sangat dahsyat dan tak terperikan. Data Kementerian LHK dan Polri menyebutkan, ada ratusan kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang kini sedang mereka tangani. Di Riau terdapat 37 kasus, Sumatera Selatan 16 kasus, Kalimantan Barat 11 kasus, dan Kalimantan Tengah 121 kasus. Tak ternilai Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, negara seolah tak berdaya menghentikan kejahatan korporasi yang-dengan kekuatan uang-berulang kali lolos dari jerat hukum.

Otak pembakaran hutan dan lahan tak pernah tersentuh. Yang tertangkap dan divonis bersalah oleh pengadilan hanya pelaku "ecek-ecek" atau masyarakat biasa yang sering kali dijadikan "tumbal" korporasi. Korporasi mampu membuktikan dirinya jauh lebih kuat-bahkan daripada negara sekalipun-untuk terus melanggengkan kejahatannya dan memegang kendali atas sumber daya hutan dan lahan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyebutkan, pada 2013 dari 117 perusahaan yang mereka laporkan sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan di Riau, hanya delapan perusahaan yang ditindaklanjuti dan satu yang divonis.

Kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan tak terhitung nilainya. Ratusan ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sebagian besar adalah anak-anak yang memang rentan terserang ISPA. Terbaru, bayi perempuan mungil berusia kurang dari satu tahun dari Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, meninggal karena ISPA yang disebabkan kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Hingga saat ini, bencana kabut asap telah merenggut tiga korban jiwa. Selain merenggut korban jiwa dan menurunkan kesehatan masyarakat akibat ISPA, kebakaran hutan dan lahan juga membumihanguskan habitat satwa liar. Habitat gajah di Taman Nasional Sembilang dan Suaka Marga Satwa Padang Sugihan di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hangus terbakar. Di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Tengah, karena habitatnya diselimuti kabut asap, seekor anak orangutan terjebak di areal perkebunan sawit yang terbakar karena kegiatan membersihkan lahan. Bayi orangutan lalu diselamatkan warga dan dibawa ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat. Ke depan, karena berkurangnya habitat, intensitas konflik antara satwa liar dan manusia diprediksi kian meningkat.

Data Institute Hijau Indonesia menyebutkan, 12 juta hektar kawasan hutan Indonesia sebagai rumah bagi jutaan keanekaragaman hayati telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Kebakaran hutan dan lahan yang membumihanguskan habitat satwa liar juga menyebabkan hilangnya zat hara, musnahnya jasad renik dan binatang tanah, rusaknya tekstur tanah, naiknya suhu global, berkurangnya keragaman hayati, dan rusaknya siklus hidrologi. Kerugian korban jiwa dan ekologi akibat kebakaran hutan dan lahan tentu tak ternilai dibandingkan kerugian di sektor ekonomi, pariwisata, dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan.

Dalam kasus pembakaran hutan ini merupakan tindakan tercela para pelaku-pelaku bisnis yang ingin memperoleh keuntungan sendiri tanpa mempedulikan masyarakat bahkan lingkungan. Para pelaku bisnis itu bertindak egois dan semena-mena demi keuntungannya sendiri mereka tidak memperdulikan yang lain.

Membakar hutan memang lebih sedikit dana yang dikeluarkan daripada menebang hutan sehingga banyak pengusaha yang memilih jalan cepat dan praktis namun kotor dan merugikan orang lain dan dunia.

 

 

Sumber :

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kebakaran Hutan dan Kejahatan Korporasi", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2015/10/03/16191531/Kebakaran.Hutan.dan.Kejahatan.Korporasi?page=all#page2.

https://randynoerhardi.wordpress.com/2013/11/25/pengaruh-etika-bisnis-terhadap-kejahatan-korporasi-dalam-lingkup-kejahatan-ekonomi/

http://dspace.uphsurabaya.ac.id:8080/xmlui/bitstream/handle/123456789/706/Bab%202.pdf?sequence=4&isAllowed=y#:~:text=Bentuk%20kejahatan%20korporasi%20secara%20umum,yaitu%20konsumen%2C%20masyarakat%20dan%20negara.

https://lawyeronline.id/kejahatan-korporasi-dan-pertanggungjawaban-pidana-korporasi/#:~:text=1)%20Crimes%20for%20corporation%2C%20yakni,semata%2Dmata%20untuk%20melakukan%20kejahatan.

https://malindaa68.wordpress.com/etika-bisnis/

https://www.gmpk.or.id/berita/opini/etika-bisnis-kaitannya-dengan-tindak-pidana-korupsi.html

http://abdullohsyahroni.blogspot.com/2013/11/pengaruh-etika-bisnis-terhadap.html

http://repository.uin-suska.ac.id/8174/4/BAB%20III.pdf




#bangganarotama

#narotamajaya

#thinksmart

#generasiemas

#suksesituaku

#pebisnismuda


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS SELAMA TAHUN 2021 DI INDONESIA

Nama         : Amalia Dwi Septiana NIM           : 01219075 Kelas : Manajemen A Dosen        : Hj.I.G.A.Aju Nitya Dharmani, SST,SE,MM Matkul...