Nama : Amalia Dwi Septiana
NIM : 01219075
Kelas : Manajemen A
Semester : 4
Mata Kuliah : Etika Bisnis
Dosen : Hj.I.G.A.Aju Nitya Dharmani, SST,SE,MM
Korporasi sebagai
entitas usaha yang hadir dalam kehidupan masyarakat memberikan sumbangan
signifikan dalam pembangunan ekonomi, hampir di sebagian negara maju terdapat
suatu korporasi besar yang menopang pembangunan nasional negara tersebut,
melalui kegiatan kegiatan perekonomian yang menyerap sektor ketenagakerjaan dan
membantu pemerintah mensejahterakan perekonomian rakyatnya. Namun tidak banyak
yang memahi bahwa sesungguhnya korporasi tidak memliki wujud nyata seperti
manusia karena awalnya korporasi adalah nomenklatur yang dipopulerkan oleh para
pebisnis dan ekonom untuk mengemas entitas bisnis dalam tranksaksi perdagangan.
Kendati korporasi tidak berwujud namun adalah fakta umum sebagian besar masyarakat
menerima dan memahami bahwa korporasi bisa melakukan kegiatan yang langsung dapat
dirasakan oleh masyarakat.
Pada kenyataannya
kegiatan Korporasi membutuhkan manusia untuk merealisasikan rencana dan atau
strategi bisnisnya, apapun korporasinya baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum tentunya difasilitasi oleh pengurus maupun karyawan dan atau
kuasanya, karena korporasi sebagai suatu badan secara nyata tidak mempunyai
wujud yang jelas sebagaimana manusia. Dan sebab itu korporasi selalu membutuhkan
manusia untuk mewujudkan kegiatan dan kepentingan usahanya. Permasalahan
kemudian timbul ketika pada kenyataannya disamping korporasi korporasi yang
bermanfaat bagi masyarakat, tidak sedikit dari korporasi melakukan kejahatan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Kejahatan Korporasi
Rumusan secara tegas
mengenai Kejahatan Korporasi tidak diatur secara yuridis formil, karenanya
sebagai upaya memahami pengertian utuh mengenai kejahatan korporasi terlebih
dahulu dijelaskan secara parsial pengertian dari kejahatan dan korporasi itu
sendiri dengan mengacu pada beberapa sumber hukum sekunder maupun primer antara
lain sebagai berikut:
Menurut Kartono,
sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief dalam
buku Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: PT Alumni, 1998) pada halaman
4, menjelaskan Kejahatan secara sosiologis yakni:
Semua ucapan, perbuatan
dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat
merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila dan menyerang keselamatan
warga masyarakat (baik yang telah tercantum dalam undang-undang pidana).
Selain itu, definisi
kejahatan juga dijelaskan oleh Larry J. Siegel dan John L. Worral dalam bukunya
Essentials of Criminal Justice, 11th Edition, (USA: Cengage Learning, 2017),
yang pada halaman 31 mendefinisikan Kejahatan sebagai berikut:
Crime is a violation of
socieal rules of behavior as interpreted and expressed by criminal legal code
created by people holding social and political power. Individuals who violate
these are subject to sanctions by state authority, social stigma and loss of
status. (Kejahatan adalah sebuah pelanggaran aturan sosial dalam berprilaku
sebagaimana yang ditafsirkan dan di ekspresikan dalam hukum pidana yang dibuat
oleh orang-orang yang memegang kekuasaan politik. Individu yang melanggar
aturan ini dikenakan sanksi oleh otoritas negara, stigma sosial dan kehilangan
status)
Berdasarkan kedua
penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kejahatan dalam
perspektif pidana adalah semua tindakan, perbuatan dan tingkah laku yang secara
sosial, ekonomis dan politis melanggar ketentuan hukum pidana, yang dapat
dikenakan sanksi berupa pemidanaan oleh negara dan sanksi sosial dalam
masyarakat.
Selanjutnya merujuk
pada pengertian Korporasi berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Tipikor maupun Pasal
1 Ayat (1) Peraturan MA RI 13/2016 dirumuskan dengan pengertian sama sesuai
kutipan berikut: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Terkait hal tersebut
oleh karena belum ada pengertian yang jelas secara yuridis formil yang
mendefinisikan mengenai kejahatan korporasi, maka untuk memahami hal tersebut
terlebih dahulu akan diuraikan pendapat-pendapat ahli mengenai kejahatan
korporasi termasuk dengan mengaitkan dengan pengertian tindak pidana korporasi
sebagaimana diatur dalam regulasi.
Menurut Prof. Bismar Nasution
dalam artikel Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya sebagaimana
dipublikasikan dalam website dengan alamat
https://bismarnasution.com/kejahatan-korporasi-dan-pertanggungjawabannya/, yang
di akses pada tangal 4 Agutus 2018, pengertian Kejahatan Korporasi pada
pokoknya merujuk pendapat Sally Simson dalam Corporate Crime, Law and Social
Control (New York: Cambridge University Press, 2002) yang menjelaskan:
Kejahatan Korporasi
merupakan bagian dari white collar crime. Pengertian kejahatan Korporasi yang
paling mudah untuk dimengerti adalah pengertian yang ditawarkkan oleh
Braithwaite. Kejahatan Korporasi menurut pengertian yang diberikan oleh
Braithwaite adalah perbuatan dari suatu korporasi, atau pegawainya yang
bertindak untuk korporasi, dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan
melanggar hukum.
Selain pendapat
tersebut, menurut Dr. Hasbullah F. Sjawie S.H., LL.M., M.M dalam bukunya
Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta:
Kencana, 2017) pada halaman 273 menjelaskan secara tidak langsung pengertian
dan lingkup kejahatan korporasi dengan merumuskan pengertian tindak pidana
korporasi yaitu:
“….. perbuatan yang
dilakukan oleh direksi dan atau pegawai dari suatu korporasi pada setiap
tingkatannya yang menjalankan tugas dan fungsi serta bisa dianggap bertindak
mewakili korporasi yang dapat mengakibatkan tanggungjawab pidana, baik kepada
korporasinya maupun bersama dengan pegawainya secara pribadi …..”
Terkait dengan beberapa
pendapat di atas, untuk melengkapi pemahaman mengenai kejahatan korporasi
secara menyeluruh, maka perlu memperhatikan pengertian Tindak Pidana oleh
Korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan MA RI 13/2016 sesuai
kutipan berikut:
Tindak pidana oleh
Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan
hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di
luar Lingkungan Korporasi.
Berdasarkan rujukan
pendapat ahli serta dengan mengacu pada Pasal 3 Peraturan MA RI 13/2016 maka
dapat disimpulkan bahwa Kejahatan Korporasi adalah perbuatan korporasi yang
direpresentasikan oleh orang yang mewakili korporasi sepanjang dilakukan
bertindak atas nama serta untuk kepentingan korporasi, dimana perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dimintakan
tanggungjawab secara pidana.
2.2
Definisi Korupsi
Korupsi atau rasuah
(bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan
itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang
hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
-
perbuatan melawan hukum,
-
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan,
atau sarana,
-
memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korporasi, dan
-
merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Jenis tindak pidana
korupsi di antaranya, tetapi bukan semuanya, adalah
-
memberi atau menerima hadiah atau janji
(penyuapan),
-
penggelapan dalam jabatan,
-
pemerasan dalam jabatan,
-
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara), dan
-
menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam
praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di
mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di
bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi
atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya
atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.
Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun
ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi yang mendukung
munculnya korupsi
-
Konsentrasi kekuasaan di pengambil
keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang
sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
-
Kurangnya transparansi di pengambilan
keputusan pemerintah
-
Kampanye-kampanye politik yang mahal,
dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
-
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam
jumlah besar.
-
Lingkungan tertutup yang mementingkan
diri sendiri dan jaringan "teman lama".
-
Lemahnya ketertiban hukum.
-
Lemahnya profesi hukum.
-
Kurangnya kebebasan berpendapat atau
kebebasan media massa.
-
Gaji pegawai pemerintah yang sangat
kecil.
-
2.3
Korupsi dari Pandangan Etika
Dapat dipahami dalam
kehidupan pemerintahan sebagai suatu keadaan, di mana jika etika dipegang teguh
sebagai landasan tingkah laku dalam pemerintahan, maka penyimpangan seperti
korupsi tidak akan terjadi.
Untuk menilai etis atau
tidaknya suatu aktivitas, diperlukan peninjauan terhadap tiga konsep dasar
etika. Kita ambil contoh jika korupsi terjadi pada pejabat publik dengan
mengorupsi uang negara. Ditinjau dari konsep dasar etika :
1
Teori Deontologi
a. Teori
Hak
Perilaku korupsi uang negara menunjukkan
bahwa hak masyarakat yang seharusnya mendapatkan kesempatan menikmati
kesejahteraan dari uang negara baik secara langsung maupun tidak langsung,
telah diambil oleh para pelaku korupsi.
b. Teori
Keadilan
Perilaku korupsi uang negara menunjukkan bahwa ada
ketidak-adilan diantara para pejabat publik. Mereka sama-sama bekerja mengabdi
pada negara, namun mendapatkan "pendapatan" yang berbeda, dan bahkan
bisa mendapat "privilege" yang berbeda jika koruptor ini tetap
"dirawat" oleh negara.
2. Teori Teleologi
Dalam dunia etika,
teori teleologi dari Christian Wolff seorang filsuf Jerman abad ke-18 diartikan
sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan dilakukan.
Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana yang salah, tetapi itu bukan
ukuran yang terakhir. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Betapa pun
salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat
baik, maka tindakan itu dinilai baik.
Perbincangan
"baik" dan "jahat" harus diimbangi dengan "benar"
dan "salah". Ajaran teleologi dapat menciptakan hedonisme, ketika
"yang baik" itu dipersempit menjadi "yang baik" bagi diri
sendiri. Misalnya :mencuri, menurut etika teleologi tidak dinilai baik atau
buruk berdasarkan tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari
tindakan itu. Jika tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Contoh
seorang anak mencuri untuk membiayai berobat ibunya yang sedang sakit, tindakan
ini baik untuk moral kemanusian tetapi dari aspek hukum jelas tindakan ini melanggar
hukum. Sehingga etika teologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan
akibatnya suatu tindakan bisa sangat bergantung pada situasi khusus tertentu.
Karena itu setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja
dalam situasi sebagaimana dimaksudkan.
a.
Egoisme
Menurut sudut pandang
teori Egoisme Psikologis, semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan
self-center/selfish dan merugikan kepentingan orang lain. Sedangkan teori
Egoisme Etis adalah tindakan mementingkan diri namun tidak merugikan
kepentingan orang lain.
Perilaku korupsi
merupakan tindakan yang mementingkan diri dan merugikan kepentingan orang lain
sehingga perilaku tersebut tidak etis sesuai konsep Egoisme Psikologis.
b.
Utilitarian
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Korupsi uang negara berarti merupakan tindakan tidak etis menurut Konsep Utilitarian, karena hanya bermanfaat bagi sebagian pihak.
2.4
Jenis Kejahatan Korporasi
1. Crime For
Corporation
Dalam literatur sering
dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk white
collar crimes. Dalam arti yang luas, kejahatan korporasi ini sering rancu
dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi. Bentuk-bentuk
dan korban kejahatan korporasi itu sangat beraneka ragam dan pada umumnya
bernilai ekonomis. Bentuk kejahatan korporasi secara umum yaitu pelanggaran
terhadap hak-hak konsumen, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan dibidang
perpajakan dengan skala dan ruang lingkup korban yang sangat luas yaitu konsumen,
masyarakat dan negara. Gagasan tentang white collar crimes pertama kali
dikemukakan oleh seorang kriminolog bernama Edwin H. Suhterland dalam pidatonya
di depan American Sociological Society pada tahun 1939, yang kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam buku yang berjudul White Collar crimes.
Sutherland merumuskan white collar crimes sebagai kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya
(crimes committed by person of respectability and high social status in the
course of their occupation).10 Tujuan penggunaan istilah ini adalah untuk
membedakan pelaku kejahatan berdasarkan status sosial karena memiliki dua
elemen yaitu status pelaku tindak pidana (status of offender) dan karakter
serta jabatan dari pelaku (the occupation character of offences).
2. Crime against
Corporation
Kejahatan yang
dilakukan oleh orang atau individu berhubungan dengan suatu jabatan yang masih
dalam ruang lingkup itu. Kejahatan ini tidak hanya dilakukan oleh orang yang
memiliki jabatan akan tetapi juga oleh siapapun yang berkaitan dalam ruang
lingkup jabatan itu. Hal ini dilakukan untuk kepentingan individu atau pribadi bukan
untuk kepentingan badan hukum, karena itu kejahatan ini mempunyai kesamaan dengan
tindak pidana korupsi. Kejahatan jabatan ini antara lain, pelanggaran hukum oleh
pengusaha, politisi, ketua serikat pekerja, pengacara, dokter ahli farmasi, karyawan
yang menggelapkan uang perusahaan atau lembaga pemerintah dimana mereka
bertugas.
3. Criminal
Organization
Pengertian organisasi
dalam lingkup kejahatan yang diorganisir ini adalah sekelompok orang yang
sengaja dibentuk untuk melakukan kejahatan. Organisasi ini merupakan suatu
kesatuan yang lebih besar dalam lingkungan penjahat. Dengan demikian ciri dari
organisasi ini adalah sifat illegal dari sebuah organisasi tersebut. Dengan
organisasi kriminal itu maka akan terbentuk sebuah dialek atau sandi yang dimiliki
oleh para anggotanya, dan hal ini dibentuk sebagai suatu identitas geng, gerombolan,
sindikat, kartel. Nilai perilaku kriminal inilah yang akan membentuk budaya
kriminal yang sifatnya khusus dan dibentuk oleh anggotanya sendiri berdasarkan
kesepakatan.
2.5
Dampak Kejahatan Korporasi
a.
Dampak bagi masyarakat (society)
Korporasi juga memiliki
dampak negatif yang sangat luas bagi masyarakat yang mana pihak korban harus
dilindungi melalui penegakan hukum secara efektif. Dampak kejahatan korporasi
dapat dibedakan atas dampak langsung (direct victimization) dan dampak tidak
langsung (indirect victimization). Aktifitas korporasi yang menimbulkan akibat
yang membahayakan kehidupan masyarakat dan merugikan aspek kehidupan akan
timbul kejahatan korporasi (corporate crimes). Viktimisasi yang dapat ditimbulkan
baik menimpa perorangan maupun kolektif, bahkan masyarakat luas, antara lain
meliputi kerugian di bidang materi, kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan
jiwa, atau kerugian di bidang sosial, hilangnya pekerjaan.
b.
Dampak Bagi Lingkungan Hidup
Dampak kejahatan
korporasi di bidang lingkungan hidup secara umum tidak hanya menguras sumber
daya alam, tetapi juga modal manusia, modal sosial, bahkan modal kelembagaan
yang berkelanjutan. Jadi kejahatan korporasi ini tidak akan selesai hanya
dengan memberi penyantunan korban, akan tetapi dampaknya terhadap kerusakan
lingkungan hidup akibat eksploitasi yang menguras sumberdaya alam tentunya
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa kembali seperti semula, bahkan ada
juga yang tidak bisa kembali lagi karena sifatnya. Kerusakan lingkungan yang
terjadi saat ini karena adanya paradigma lingkungan yang salah, karena paradigma
ekologi kita ini tidak ekosentris. Manusia hanya memposisikan diri sebagai outsider
dari lingkunganya. Maka dari itu pandangan kita harus dirubah dari antroposentris
menjadi ekosentris oleh karena itu kita harus menjadi kolifah alamiah. Suparto
widjoyo mengatakan “orang merusak lingkungan, mencemarkan lingkungan itu tidak
hanya dia melanggar hukum tapi dia melawan Tuhan”. Jadi tidak ada bahan pencemar
yang menakutkan kecuali manusia itu sendiri. Tidak ada destroyer yang paling
hebat yang menghancurkan lingkungan kecuali kerakusan manusia itu”.
c.
Dampak bagi Negara
Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum (the Prevention of Crime and Treatment of Offender) dalam tahun 1975 kemudian dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, menunjukkan “bahwa terdapat kejahatan-kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh korporasi yang digerakan oleh pengusaha terhormat yang membawa dampak sangat negatif pada perekonomian negara yang bersangkutan”. 32 Berdasarkan hal tersebut diatas kongres ke-5 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum yang diselenggarakan oleh Badan PBB pada bulan September 1975 di Jenewa memberikan pengertian dengan memperluas terhadap tindak penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum (illegal abuse of economic power), seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, perburuhan, pencemaran lingkungan, penipuan terhadap konsumen, penyelewengan dibidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan trans nasional.
d.
Pengaruh Korupsi terhadap Etika Bisinis
:
1. Menghambat
investasi dan pertumbuhan ekonomi
2. Korupsi
melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program
pembangunan.
3. Korupsi
menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
4. Korupsi
berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
2.6
Contoh Kejahatan Korporasi
Kepolisian RI telah
menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya petinggi perusahaan, dalam kasus
kebakaran hutan dan lahan yang kemudian menimbulkan bencana kabut asap dalam
sebulan terakhir (Kompas, 17/9). Mereka dijerat UU Perkebunan, UU Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Kehutanan dengan ancaman kurungan
maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.
Jumlah tersangka pelaku
pembakaran hutan dan lahan diprediksi bertambah karena polisi masih memeriksa
puluhan perusahaan yang diduga melakukan praktik pembakaran hutan dan lahan.
Jika terbukti, izin konsesi perusahaan terancam dicabut dan dibekukan. Data
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyebutkan, indikasi areal
kebakaran hutan dan lahan-hingga 9 September 2015-di Kalimantan dan Sumatera
seluas 190.993 hektar. Luasan tersebut terdiri dari 103.953 hektar di lahan
pemanfaatan, 29.437 hektar di lahan perkebunan dari pelepasan, dan 58.603
hektar di lahan bidang tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi, kerugian ekonomi akibat bencana
kabut asap yang terjadi karena kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi
di Indonesia pada 2015 bisa melebihi angka Rp 20 triliun. Kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia, yang kemudian menimbulkan bencana kabut asap, bukan yang
pertama kali. Dalam 20 tahun terakhir, bencana serupa hampir setiap tahun
terjadi. Warga negara Malaysia dan Singapura pun menyindir Indonesia dengan
kabut asapnya melalui media sosial dengan tagar #terimakasihIndonesia. Malaysia
dan Singapura adalah dua negara tetangga yang rutin mendapat kiriman kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.
Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan, 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan merupakan
faktor yang disengaja. Citra satelit yang diambil NASA membuktikan bahwa
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera sekarang merupakan
kesengajaan karena areal hutan yang dilalap api memiliki pola. Motifnya jelas!
Membakar hutan dan lahan dinilai sebagai cara paling mudah, murah dan cepat
untuk membersihkan lahan (land clearing) meski dampak kerusakannya sangat dahsyat
dan tak terperikan. Data Kementerian LHK dan Polri menyebutkan, ada ratusan
kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di area konsesi perusahaan di
Sumatera dan Kalimantan yang kini sedang mereka tangani. Di Riau terdapat 37
kasus, Sumatera Selatan 16 kasus, Kalimantan Barat 11 kasus, dan Kalimantan
Tengah 121 kasus. Tak ternilai Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, negara
seolah tak berdaya menghentikan kejahatan korporasi yang-dengan kekuatan
uang-berulang kali lolos dari jerat hukum.
Otak pembakaran hutan
dan lahan tak pernah tersentuh. Yang tertangkap dan divonis bersalah oleh
pengadilan hanya pelaku "ecek-ecek" atau masyarakat biasa yang sering
kali dijadikan "tumbal" korporasi. Korporasi mampu membuktikan
dirinya jauh lebih kuat-bahkan daripada negara sekalipun-untuk terus
melanggengkan kejahatannya dan memegang kendali atas sumber daya hutan dan
lahan yang semestinya dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyebutkan, pada 2013 dari 117 perusahaan
yang mereka laporkan sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan di Riau, hanya
delapan perusahaan yang ditindaklanjuti dan satu yang divonis.
Kerugian yang
ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan tak terhitung nilainya. Ratusan
ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Sebagian besar
adalah anak-anak yang memang rentan terserang ISPA. Terbaru, bayi perempuan
mungil berusia kurang dari satu tahun dari Hulu Sungai Selatan, Kalimantan
Selatan, meninggal karena ISPA yang disebabkan kabut asap akibat pembakaran
hutan dan lahan di Kalimantan. Hingga saat ini, bencana kabut asap telah
merenggut tiga korban jiwa. Selain merenggut korban jiwa dan menurunkan
kesehatan masyarakat akibat ISPA, kebakaran hutan dan lahan juga membumihanguskan
habitat satwa liar. Habitat gajah di Taman Nasional Sembilang dan Suaka Marga
Satwa Padang Sugihan di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hangus terbakar.
Di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Tengah, karena habitatnya diselimuti kabut
asap, seekor anak orangutan terjebak di areal perkebunan sawit yang terbakar
karena kegiatan membersihkan lahan. Bayi orangutan lalu diselamatkan warga dan
dibawa ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat. Ke depan, karena
berkurangnya habitat, intensitas konflik antara satwa liar dan manusia
diprediksi kian meningkat.
Data Institute Hijau
Indonesia menyebutkan, 12 juta hektar kawasan hutan Indonesia sebagai rumah
bagi jutaan keanekaragaman hayati telah beralih fungsi menjadi perkebunan
sawit. Kebakaran hutan dan lahan yang membumihanguskan habitat satwa liar juga
menyebabkan hilangnya zat hara, musnahnya jasad renik dan binatang tanah,
rusaknya tekstur tanah, naiknya suhu global, berkurangnya keragaman hayati, dan
rusaknya siklus hidrologi. Kerugian korban jiwa dan ekologi akibat kebakaran
hutan dan lahan tentu tak ternilai dibandingkan kerugian di sektor ekonomi,
pariwisata, dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan.
Dalam kasus pembakaran
hutan ini merupakan tindakan tercela para pelaku-pelaku bisnis yang ingin
memperoleh keuntungan sendiri tanpa mempedulikan masyarakat bahkan lingkungan.
Para pelaku bisnis itu bertindak egois dan semena-mena demi keuntungannya
sendiri mereka tidak memperdulikan yang lain.
Membakar hutan memang
lebih sedikit dana yang dikeluarkan daripada menebang hutan sehingga banyak
pengusaha yang memilih jalan cepat dan praktis namun kotor dan merugikan orang
lain dan dunia.
Sumber :
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kebakaran
Hutan dan Kejahatan Korporasi", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2015/10/03/16191531/Kebakaran.Hutan.dan.Kejahatan.Korporasi?page=all#page2.
https://malindaa68.wordpress.com/etika-bisnis/
https://www.gmpk.or.id/berita/opini/etika-bisnis-kaitannya-dengan-tindak-pidana-korupsi.html
http://abdullohsyahroni.blogspot.com/2013/11/pengaruh-etika-bisnis-terhadap.html
http://repository.uin-suska.ac.id/8174/4/BAB%20III.pdf
#bangganarotama
#narotamajaya
#thinksmart
#generasiemas
#suksesituaku
#pebisnismuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar