Nama : Amalia Dwi Septiana
NIM :
01219075
Kelas :
Manajemen A
Mata
Kuliah : Etika Bisnis
Tugas : 3
Berikan contoh masalah keadilan dalam bisnis yang
terselesaikan ataupun belum terselesaikan !
Masalah Keadilan dalam Bisnis yang
Terselesaikan
Kasus Laundry Kiloan
Rose Lenny menyerahkan cucian kepada Rosmalinda (Linda) pada Januari 2012. Tapi
Rose tidak kunjung mengambil baju itu lebih dari setahun. Biaya cucian Rp 78
ribu dengan ketentuan Rp 3.000 per kg. Pada awal 2013, Rose tiba-tiba menagih
cuciannya dan Linda mengambil baju itu sudah dalam keadaan rusak dan kotor
karena setahun tak kunjung diambil.
Anehnya, Rose
memperkarakan Linda hingga ke meja hijau. Linda awalnya tidak ditahan polisi.
Hingga akhirnya jaksa menjebloskan Linda ke penjara hingga 3 bulan lamanya. Tak
tanggung-tanggung, jaksa menuntut Linda selama 1 tahun penjara. Belakangan,
Linda dibebaskan PN Jaktim pada Oktober 2013 dan dikuatkan Mahkamah Agung pada
November 2016.
Dalam kasus tersebut
Linda dipenjara selama 3 bulan baru mendapatkan keadilan Karena Linda tidak
bersalah karena cucian selama 1 tahun tidak diambil akan berdebu, kotor, dan
rusak.
Masalah Keadilan dalam Bisnis yang
tidak terselesaikan
Kasus Lumpur Lapindo
Banjir lumpur panas
Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo atau Lumpur
Sidoarjo , adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi
pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia,
sejak tanggal 29 Mei 2006.
Lokasi semburan lumpur
ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo,
sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan
dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi pusat semburan
hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan
sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok
Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut
diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur
tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan.
Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan
pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan
pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih
banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pengeboran.
Lokasi semburan lumpur
tersebut merupakan kawasan permukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan
terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan
Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api
lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.
Semburan lumpur ini
membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT
Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah
masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.
-
Korban Tewas :
17 Orang
-
Kerugian Harta
Benda : Rp. 45 Trilyun
-
Lumpur
menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa
dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat
untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga
menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006,
luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan
Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi
sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang
10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
-
Lahan dan ternak
yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain:
lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan
padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul,
Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2
sapi dan 7 ekor kijang.
-
Sekitar 30
pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan
ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak
lumpur ini.
-
Empat kantor
pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
-
Tidak
berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya
sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
-
Rumah/tempat
tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit.
Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428,
Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor
Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
-
Kerusakan
lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
-
Pihak Lapindo
melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah
menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan
lumpur.
-
Akibat amblesnya
permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya
patah.
-
Meledaknya pipa
gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan
sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
-
Ditutupnya jalan
tol Surabaya-Gempol ruas porong-gempol sepanjang 6 km hingga waktu yang
tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu
melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
-
Tak kurang 600
hektare lahan terendam.
-
Sebuah SUTET
(saluran udara tegangan ekstra tinggi) milik PT PLN dan seluruh
jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya
Porong tak dapat difungsikan.
Penutupan ruas jalan
tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan
Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini
berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto)
dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri
utama di Jawa Timur.
Sejumlah upaya telah
dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur. Pemerintah dianggap tidak serius
menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling
dirugikan, karena mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa
adanya kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada
Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari
harga NJOP yang rata-rata harga tanah di bawah Rp100 ribu—dibeli oleh
Lapindo sebesar Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta masing-masing per meter
persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan Jatirejo)
sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang
rusak. Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang
tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.
Salah satu pihak yang
paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan
hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga
menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan
melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan
dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan
sekitar muara.
PT Lapindo Brantas Inc.
sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati
bersama dengan korban. Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883
buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum
dibayarkan karena status tanah yang belum jelas. Namun para warga korban banyak
yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa para korban
sudah diminta menandatangani kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo
Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang. Dalam
keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi
Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000
berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari
Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak
keterangan dan penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas.
Sampai Mei 2009, PT
Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk
mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 triliun.
Perkembangan terbaru diinformasikan bahwa sisa pembayaran ganti rugi sebsar 781
M.
Sudah 8 tahun sejak
semburan lumpur terjadi, pembayaran ganti rugi belum juga dilunasi. Kini
pelunasan ganti rugi dimasukkan dalam APBN, sehingga pelunasan menjadi
tanggungan pemerintah.
Berdasarkan prinsip
keadilan komutatif yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu menuntut agar semua
orang menepati apa yang telah dijanjikannya. PT Lapindo belum melakukan hal
tersebut, hingga saat ini pembayaran ganti rugi belum juga dilunasi padahal
sudah melewati batas yang telah ditentukan oleh pemerintah. Kini dengan
dimasukkannya pembayaran ganti rugi kedalam APBN, pemerintah dan PT Lapindo
seharusnya bisa mempercepat pembayaran tersebt. Atas dasar keadilan kita harus
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya tanpa kecuali.
Sumber :
https://news.detik.com/berita/d-3477130/tragedi-si-miskin-penjara-dulu-keadilan-kemudian
https://nmn93.wordpress.com/2014/11/14/jurnal-etika-bisnis-keadilan-dalam-bisnis/
https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo
#bangganarotama
#narotamajaya
#thinksmart
#generasiemas
#suksesituaku
#pebisnismuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar