Minggu, 21 Maret 2021

Contoh Masalah Keadilan dalam Bisnis yang Terselesaikan ataupun Belum Terselesaikan

 

Nama                   : Amalia Dwi Septiana

NIM                     : 01219075

Kelas                    : Manajemen A

Mata Kuliah         : Etika Bisnis

Tugas                    : 3

 

 

Berikan contoh masalah keadilan dalam bisnis yang terselesaikan ataupun belum terselesaikan !

 

Masalah Keadilan dalam Bisnis yang Terselesaikan

Kasus Laundry Kiloan

Rose Lenny menyerahkan cucian kepada Rosmalinda (Linda) pada Januari 2012. Tapi Rose tidak kunjung mengambil baju itu lebih dari setahun. Biaya cucian Rp 78 ribu dengan ketentuan Rp 3.000 per kg. Pada awal 2013, Rose tiba-tiba menagih cuciannya dan Linda mengambil baju itu sudah dalam keadaan rusak dan kotor karena setahun tak kunjung diambil.

Anehnya, Rose memperkarakan Linda hingga ke meja hijau. Linda awalnya tidak ditahan polisi. Hingga akhirnya jaksa menjebloskan Linda ke penjara hingga 3 bulan lamanya. Tak tanggung-tanggung, jaksa menuntut Linda selama 1 tahun penjara. Belakangan, Linda dibebaskan PN Jaktim pada Oktober 2013 dan dikuatkan Mahkamah Agung pada November 2016.

Dalam kasus tersebut Linda dipenjara selama 3 bulan baru mendapatkan keadilan Karena Linda tidak bersalah karena cucian selama 1 tahun tidak diambil akan berdebu, kotor, dan rusak.

 

Masalah Keadilan dalam Bisnis yang tidak terselesaikan

Kasus Lumpur Lapindo

Banjir lumpur panas Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo , adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia, sejak tanggal 29 Mei 2006.

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.

Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pengeboran.

Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan permukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.

-          Korban Tewas : 17 Orang

-          Kerugian Harta Benda : Rp. 45 Trilyun

-          Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.

-          Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.

-          Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.

-          Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.

-          Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)

-          Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.

-          Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan

-          Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.

-          Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.

-          Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.

-          Ditutupnya jalan tol Surabaya-Gempol ruas porong-gempol sepanjang 6 km hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.

-          Tak kurang 600 hektare lahan terendam.

-          Sebuah SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur. Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, karena mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah di bawah Rp100 ribu—dibeli oleh Lapindo sebesar Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta masing-masing per meter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan Jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak. Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.

Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara.

PT Lapindo Brantas Inc. sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban. Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas.

Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 triliun. Perkembangan terbaru diinformasikan bahwa sisa pembayaran ganti rugi sebsar 781 M.

Sudah 8 tahun sejak semburan lumpur terjadi, pembayaran ganti rugi belum juga dilunasi. Kini pelunasan ganti rugi dimasukkan dalam APBN, sehingga pelunasan menjadi tanggungan pemerintah.

Berdasarkan prinsip keadilan komutatif yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya. PT Lapindo belum melakukan hal tersebut, hingga saat ini pembayaran ganti rugi belum juga dilunasi padahal sudah melewati batas yang telah ditentukan oleh pemerintah. Kini dengan dimasukkannya pembayaran ganti rugi kedalam APBN, pemerintah dan PT Lapindo seharusnya bisa mempercepat pembayaran tersebt. Atas dasar keadilan kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya tanpa kecuali.

 

Sumber :

https://news.detik.com/berita/d-3477130/tragedi-si-miskin-penjara-dulu-keadilan-kemudian

https://nmn93.wordpress.com/2014/11/14/jurnal-etika-bisnis-keadilan-dalam-bisnis/

https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo



#bangganarotama

#narotamajaya

#thinksmart

#generasiemas

#suksesituaku

#pebisnismuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS SELAMA TAHUN 2021 DI INDONESIA

Nama         : Amalia Dwi Septiana NIM           : 01219075 Kelas : Manajemen A Dosen        : Hj.I.G.A.Aju Nitya Dharmani, SST,SE,MM Matkul...